Kebenaran Ilmiah
1. Pengertian Kebenaran
Kebenaran tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum, teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.[8]
Sebelum mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan pendekatan teori ilmiah sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui terlebih dahulu pengetauan ini bersifat logis, rasional tidak. Sebagaimana diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
a. Yang logis ialah yang masuk akal
b. Yang logis itu mencakup yang rasional dan supra-rasional
c. Yang rasional ialah yang masuk akal dan sesuai dengan hukum alam
d. Yang supra-rasional ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.
e. Istilah logis boleh dipakai dalam pengertian rasional atau dalam pengertian supra rasional.[9]
Beberapa definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain, Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu: 1. Keadaan yang benar ( cocok dengan hal atau keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar ( sunguh-sungguh ada, betul demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4. Selalu izin,perkenan, 5. Jalan kebetulan.[10]
Imam Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu UGM, kebenaran dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemology, logika dan psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif. Sedangkan kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.[11]
Menurut teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu, misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada.
Sedangkan menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran yang dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme hanya mengakui kebenaran dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia ide. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi kebenaran bersumber dari Allah Swt. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model logika pembuktian kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia Islam adalah logika formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran formal dengan pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik dengan pembuktian probabilitas.[12]
Lebih jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat, pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang terbentang di muka kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.[13]
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy). Al Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin, 2003).[14]
Dengan menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan, maka dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik dengan cara mengadakan penelitian atau mengadakan perenungan. Dalam pendekatan ini dibedakan menjadi dua pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah akan dijelaskan secara rinci dalam makalah ini. Sedangkan kebenaran non ilmiah juga ada di masyarakat, akan tetapi sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara kajian ilmiah. Kebenaran non ilmiah antara lain:
· Kebenaran karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Misalnya radio tidak ada suaranya, dipukul, kemudian bunyi.
· Kebenaran karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercaya dapat memecahkan masalah secara praktis. Contoh kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat. Akan tetapi penelitian psikologi membuktikan hal tersebut tidak benar, bahkan lebih membahayakan masa depan peserta didik.
· Kebenaran intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang.
· Kebenaran karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan parameter-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Hal ini membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi.
· Kebenaran spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat dan biaya lebih rendah.
· Kebenaran karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang yang memiliki otoritas dalam suatu bidang tertentu. Kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
· Kebenaran agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi sebagian yang lain tidak. Manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap kebenaran dari Allah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur`an sebagai wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw diyakini kebenarannya bagi kaum muslimin, tetapi tidak diyakini kebenaran bagi yang non muslim. Begitu juga kebenaran pada kitab yang lainnya.[15]
Dengan mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah paling tidak kita dapat membedakan segala kebenaran yang berada di masyarakat tersebut tidak teruji secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nah sekarang bagaimana kebenaran ditinjau dari pendekatan ilmiah.
2. Kriteria Kebenaran Ilmiah
Kriteria kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan yang dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari sejarah dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru dalam bidang dan hal yang sama dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari filsafat manusia yang menghasilkan pada saat itu.
Menurut Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama namun semuanya tidak dapat diukur dengan standar yang sama (incommensurable), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada makna lainnya. Misal kata ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi bermakna keteraturan ( kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.[16]
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah.
Sebagai gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk mendapatkan kebenaran adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan, proses, dan hasil
Secara metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada asumsi metafisis tertentu, dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Maka secara epistemology kebenaran merupakan kesesuaian antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. [17]
Sebelum membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai kata-kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti. Contoh kalimat yang tidak memiliki arti adalah: “5 mencintai 7.” Secara umum dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata-kata yang memiliki arti yang dapat berupa:
_ Pertanyataan, dengan contoh: “Pintu itu tertutup”,
_ Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”,
_ Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun
_ Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.”
Dari empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya sering menggunakan beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun hanya pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya. Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang dikemukakan setiap ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai ahli agama merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya, setiap ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya akan berusaha untuk menghasilkan suatu pernyataan atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk teori) tidak akan ada artinya jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang memuat suatu teori telah menjadi pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu kala. Beberapa nama menurut Yuyun S Suriasumantri yang patut diperhitungkan karena telah berjasa untuk kita adalah Plato (427 – 347 SM), Aristoteles (384 − 322 SM), Charles S Peirce (1839 − 1914), dan Bertrand Russell (1872 − 1970).[18] Paparan berikut akan membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu pernyataan yang dimuat di dalam suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah.
Kriteria kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori kebenaran yaitu terori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi adalah suatu teori yang menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita mengganggap bahwa semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan bahwa si pulan adalah seorang manusia dan si pulan pasti akan mati adalah benar pula, karena pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori lainnya adalah teori korespondensi dengan tokohnya Bertrand Russel (1872-1970 ), pernyataan dianggap benar jika materi yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi ( berhubungan ) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya Jika “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta” merupakan pernyataan yang benar sebab pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia. Dan sekiranya ada orang yang menyatakan “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung , maka pernyataan tersebut tidak benar.[19]
Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak awal ( sebelum abad modern ) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[20]
Akan tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya.
Bagaimana dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran koherensi yang berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara pernyataan yang satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu system pengetahaun yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu system yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional menurut Imam wahyudi.[21] Kelemahan dari teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
Kedua teori inilah yaitu teori koherensi dan korespondensi yang dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar , jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[22]
Kriteria kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, dan sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebabkan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan.
Menurut Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah ( scientific methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu pengetahuan yang semakian lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah banyaknya teori baru yang semakin canggihnya teknologi. Akan tetapi semakin berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta ilmu-ilmu lainnya, tidak jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai missal, Biologi berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu organisma, bukan sebagai makhluk yang berbudaya, begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan peningkatan kesejehateraan manusia, bukan pada peran manusia sebagai makhluk yang memiliki perasaan keagamaan. Dengan keterbatasan seperti itu membuat ilmu pengetahuan tidak dapat merangkum seluruh pengalaman, pengetahuan, cita-cita , keindahan dan kasih sayang yang terdapat dapat diri manusia. Hal ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan melalui pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat menjangkau kebenaran pada wilayah yang logis dan supra logis.[23]
Pendekatan kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu. Teori itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika jika penelitian ulang orang lain menurut langkah-langkah sama akan yang serupa pada kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten) atau koheren dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir setiap orang, karena pendekatan yang digunakan tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias, dan perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan subyektif. Atau kebenaran ilmiah terbuka untuk diuji oleh siapapun yang menghendaki untuk mengujinya.[24]
Pendekatan pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya” dari objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari pengenal. Objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara subjek pengenal dan objek yang dikenal.
Kebenaran ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif, dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.
0 komentar:
Posting Komentar